Cinta Uchuf S.Kep.Ners

Cinta Uchuf S.Kep.Ners
l love story nursing

Selasa, 10 Januari 2012

Citra Hidup


Psoriasis dan Percaya Diri
Kulit merupakan bagian terluas dari tubuh dan merupakan bagian yang penting bagi setiap individu. Penampilan fisik, khususnya kulitlah yang pertama kali terlihat dan tampak dari luar (baik bagi individu itu sendiri maupun bagi orang lain), sehingga kondisinya lebih segera mempengaruhi pandangan orang lain (dan juga diri sendiri) dan responsnya pun biasanya lebih mendalam dibandingkan dengan penyakit pada bagian tubuh yang lain.

Psoriasis merupakan penyakit kulit yang kronis dan bersifat kambuhan. Bila seseorang individu mengalami psoriasis, maka akan terjadi perubahan-perubahan pada penampilan kulitnya, apalagi apabila sudah dialami dalam waktu yang cukup lama, biasanya perubahan-perubahan tesebut akan lebih dirasakan. Dalam menghadapi perubahan tersebut, setiap individu akan berespons dan mempunyai persepsi yang berbeda-beda tergantung pada kepribadian dan ketahanan diri terhadap stress, konsep diri dan citra diri, serta penghayatan terhadap mengalami penyakit tersebut; misalnya ada yang merasa marah karena merasa tidak beruntung, sehingga cenderung menyaalahkan hal-hal atau orang lain di sekitarnya atau menyesali nasibnya mengalami psoriasis; adapula yang merasa bersalah pada diri sendiri, merasa mendapat kutukan Tuhan sehingga merasa sedih dan merasa masa depannya suram. Di lain pihak banyak pula individu yang dapat menerima kenyataan bahwa psoriasis yang dialami sebetulnya tidak berbahaya yang walaupun mengubah penampilan, namun tetap harus dihadapi agar tetap hidup dengan lebih nyaman.

Lalu bagaimana agar bagi sebagian dari kita yang kebetulan mengalami psoriasis, dapat menerima kondisinya dan dapat beradaptasi dengan baik, sehingga tetap dapat beraktivitas dan berfungsi dalam kehidupan sehari-harinya dengan tetap nyaman ? Pada makalah ini akan dibahas mengenai konsep diri, citra diri serta penerimaan diri terhadap psoriasis agar seseorang dapat tetap percaya diri dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.


CITRA TUBUH DAN CITRA DIRI
Citra tubuh adalah persepsi seseorang mengenai tubuhnya, baik bentuk fisik maupun yang dibayangkannya. Misalnya seseorang merasa bahwa tubuhnya itu lengkap atau tidak, atau seseorang merasa bahwa tubuhnya itu tinggi atau pendek, gemuk atau kurus. Perasaan atau persepsi panca indera tersebut dapat merupakan yang sebenarnya atau khayalannya saja, misalnya seseorang merasa gemuk, padahal menurut pandangan orang lain ia tidak gemuk.

Citra tubuh akan mempengaruhi konsep diri seseorang. Konsep diri ini akan mempengaruhi penilaian terhadap diri sendiri. Bila seseorang menilai diri sendiri positif, maka seseorang akan memasuki dunia dengan harga diri yang positif dan penuh percaya diri. Harga diri positif, terciri oleh perasaan bahwa seseorang itu mempunyai kemampuan, dicintai orang lain, menghargai etika dan bertanggung jawab terhadap kehidupannya. Bila terjadi distorsi atau perubahan dalam citra tubuh seseorang, maka konsep dirinyapun dapat berubah.


DAMPAK PSIKOLOGIK DALAM PSORIASIS
Pada saat seseorang diberitahu bahwa ia mengalami psoriasis atau sebaliknya, individu tersebut belum mengetahui nama penyakit yang dialaminya tetapi sudah merasakan atau mengalaminya, apalagi sudah mengalami untuk beberapa lama atau bahkan sudah menahun, biasanya akan terjadi suatu proses psikologik dalam diri individu tersebut. Reaksi emosional yang terjadi biasanya melalui 6 tahapan, yaitu :

1. Penolakan (denial)
Yaitu menyangkal atau tidak percaya atau belum menerima bahwa ia mengalami penyakit tersebut

2. Marah
Marah kepada orang lain atau bahkan kepada Tuhan mengapa ia yang harus mengalami penyakit tersebut

3. Depresi
Merasa sedih, merasa bersalah, merasa bahwa ia memang patut mengalami kondisi sakitnya sekarang. Sering juga individu mengkait-kaitkan penyakit yang dialami dengan perbuatannya di masa lalu

4. Kecemasan
Merasa cemas dan tegang setelah mengetahui, menjadi berpikir dan mengantisipasi ke masa yang akan datang, bagaimana menghadapi hidup selanjutnya dengan kondisi yang sekarang dialami tersebut

5. Tawar menawar
Mulai dapat menerima, tetapi di saat yang sama juga masih sulit membayangkan harus mengalami kondisi yang berubah tersebut

6. Menerima
Sudah dapat menerima keadaan yang berubat tersebut, sehingga dapat menjalani hidup dengan lebih nyaman

Berat atau ringannya gejala psikiatrik pada tahapan ini serta lama berlangsungnya setiap tahapan berbeda pada setiap individu, tergantung pada kepribadian (termasuk kemampuan mengerahkan mekanisme mengatasi perubahan karena mengalami psoriasis), daya tahan terhadap stress yang terjadi, serta persepsi tentang perubahan citra tubuh yang terjadi setelah mengalami psoriasis.

Perubahan-perubahan psikologik yang terjadi bersamaan dengan tahapan tersebut di atas setelah seseorang mengalami perubahan-perubahan kulit karena psoriasis, dapat bersumber dari :

1. Diri sendiri

a. Perubahan focus pikiran dan perasaan; setelah mengalami perubahan pada kulitnya, secara sadar dan nirsadar individu menjadi lebih berpikir tentang hal itu karena ia senantiasa melihat kulitnya yang berubah, yang kemudian diikuti dnegan perilaku memandangi diri di depan cermin secara berulang-ulang. Respons psikologik yang terjadi saat itu tergantung pada tahap mana ia sudah melalui tahapan psikologik yang telah disebutkan diatas, bila masih dalam tahap penolakan, mungkin ia akan tidak percaya ketika memandangi dirinya di cermin dan selanjutnya akan menyangkalnya, bila sudah masuk ke tahap depresi, individu akan merasa kehilanagan dirinya yang dulu, sehingga ia dapat menjadi sedih, merasa bersalah bahkan putus asa.

b. Perubahan citra tubuh : setelah menyadari terdapatnya perubahan pada kulitnya yang menyebabkannya menjadi lebih “berpikir” tentang hal itu dan diikuti perilaku bercermin untuk memastikan perubahan tersebut pada tubuhnya, individu akan mengalami perubahan citra tubuh, ia akan merasa tubuhnya berubah, tidak sebagaimana dulu lagi. Respons inipun akan bervariasi pada setiap orang. Ada yang merasa bahwa ia tidak sempurna lagi, namun banyak pula yang walau melihat perubahan tersebut, namun dapat menerima kondisi tersebut.

c. Perubahan citra diri : Citra diri akan mempengaruhi konsep diri seseorang, yang akan mempengaruhi pula penilaian terhadap diri sendiri. Bila penilaian diri itu positif, maka ia akan memiliki harga diri yang positif pula. Bila terjadi distorsi atau perubahan citra tubuh ke arah negatif, akan menyebabkan terbentuknya citra diri yang negatif. Hal ini terjadi lebih karena persepsi dan fantasinya sendiri.

d. Perubahan rasa percaya diri; dengan citra diri yang berubah, individu akan mengalami perubahan harga diri, yang menyebabkan pula perubahan pada rasa percaya dirinya. Ia menjadi tidak percaya lagi pada kemampuan dan potensi dirinya, yang sebetulnya tidak berubah bila orang lain menilainya.

2. Stigmatisasi dari lingkungan
Stigma yang terbutuk karena ketidakmengertian masyarakat tentang psoriasis, ditambah adanya anggapan yang salah bahwa psoriasis itu menular, menyebabkan timbulnya pelbagai perubahan emosional pada individu, antara lain :

a. mengantisipasi penolakan (individu merasa bahwa karena psoriasisnya, orang lain akan menolaknya)
b. Merasa ada defek di dalam diri
c. Merasa malu dan bersalah
d. Hilangnya penilaian positif dan kepercayaan terhadap orang lain

Menurut penelitian, pada individu yang mengalami psoriasis dan mempunyai pekerjaan dan atau mereka yang mengalami psoriasisnya setelah dewasa akan lebih tahan terhadap stigmatisasi


MENGALAMI PSORIASI DENGA TETAP PERCAYA DIRI
Hingga kini penyebab yang pasti dari psoriasis belum diketahui, yang telah diketahui adalah adanya factor-faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kekambuhan oleh karena itu oengobatan yang dapat menyembuhkan pun belum ada. Fakta ini yang harus diketahui oleh seseorang yang mengalami psoriasis dan juga keluarganya

Belum adanya pengobatan yang pasti bukanlah hal yang menghambat kita untuk mengatasi psoriasis. Karena factor-faktor yang mencetuskan sudah diketahui, maka kita dapat berangkat dari factor tersebut. Diantara beberapa factor yang merupakan factor predisposisi, stress merupakan salah satu yang penting (disamping factor genetic dan factor biologik lainnya). Stres atau perasaan tertekan (dalam hal ini karena mengalami psoriasis) dapat mengakibatkan perubahan-perubahan psikologik seperti telah disebutkan sebelumnya. Stress terjadi karena dipicu oleh pengalaman-pengalaman emosional yang membuat individu menjadi tidak nyaman dan harus mengerahkan mekanisme pertahanan psikologiknya secara optimal. Di lain pihak, tidak semua individu yang mengalami psoriasis memerlukan bantuan atau dukungan pihak lain, karena sudah memiliki cara mengatasi ketidaknyamanan psikologik tersebut secara optimal. Walaupun cara tersebut dipengaruhi oleh tipe kepribadian (misalnya ada individu yang lebih sadar akan diri, ada yang lebih peka terhadap komentar dan penolakan), namun terdapat beberapa hal yang dapat diperhatikan dan dilakukan, antara lain :

Membekali diri dengan pengetahuan sebanyak mungkin tentang psoriasis dan selalu berusaha mendapatkan informasi terbaru, dengan demikian kita dapat menjaga diri dengan lebih baik dan dapat berdiskusi dengan teman dengan lebih baik pula

Melatih menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang psoriasis (baik itu berasal dari kelompok studi atau internet,dll) sehingga kita menjadi lebih nyaman berbicara tentang hal itu.

Memfokuskan pada hal-hal yang positif dalam hidup, keluarga, teman-teman, kegemaran, aktivitas yang menyenangkan, mengembangkan bakat yang ada, dll. Cari aktivitas dan kelompok baru bila perlu. Psoriasis memang sesuatu yang tidak mengenakan, tetapi itu hanya merupakan salah satu bagian dari hidup kita. Usahakan tidak membuat psoriasi menjadi pusat perhatian sehingga hidup kit terkonsentrasi disitu.

Melakukan hal-hal yang menambah harga diri dan percaya diri, misalnya menentukan target pribadi dalam apapun (pekerjaan, hidup, dll) memelihara persahabatan dan system pendukung yang lain, merumuskan kembali bahwa psoriasis yang dialami sebagai suatu kondisi medik, bukan sesuatu yang membuat malu.


SIMPULAN :
Psoriasis, penyakit kulit yang menahun dan bersifat kambuhan, belum diketahui penyebab yang pasti dan yang dapat diantisipasi adalah factor-faktor predisposisi. Salah satu factor yang penting adalah penerimaan diri terhadap penyakit tersebut, sehingga tidak terjadi perubahan citra tubuh, citra diri, harga diri dan percaya diri ke arah yang tidak mendukung. Proses penerimaan diri mengalami psoriasis melalui beberapa tahap, yang lama dan derajatnya bervariasi antara satu individu dengan yang lain. Selain itu, karena beberapa saran diatas dapat dipertimbangkan.

Rabu, 04 Januari 2012

Rasa Nyeri Adalah Persepsi

Nyeri adalah Persepsi

Dokter pasti mengetahui bahwa nyeri adalah persepsi tidak nyaman yang dirasakan pasien. Artinya nyeri sangat bersifat subjektif. Pasien tidak pernah
akan bisa diukur secara jelas tentang kadar nyerinya, sampai sekarang tidak ada alat kedokteran yang bisa menyatakan secara jelas titer kadar
nyeri seseorang.

Pemeriksaan nyeri masih menggunakan gambaran visualisasi seperti Visual Analog Scale dan untuk pasien anak dengan gambaran muka dengan perubahan suasana perasaan dari senang, biasa sampai menangis.

Subjektifitas akan sangat berpengaruh dalam hal ini. Misalnya jika Anda merasakan nyeri di angka 6 belum tentu sama berat sakit Anda dengan orang lain yang menyatakan nilai 6 juga.

Maka dari itu terlihat faktor psikologis dan latar belakang sosial seseorang bisa sangat berpengaruh terhadap 'kadar' nyeri seseorang. Orang dengan
latar belakang yang berbeda bisa mengeluhkan nyeri yang berbeda beda.

Seorang yang biasa hidup nyaman dan dalam lingkungan yang memanjakannya bisa merasakan nyeri luar biasa hanya karena tergores pisau saat memotong buah. Sedangkan seorang petani yang biasa bekerja di alam dan hidupnya keras, mungkin tidak akan terlalu berasa sakit walaupun kakinya tersobek oleh paculnya.

Gangguan Nyeri Somatoform

Saya jadi ingat saat kemarin berkesempatan kongres Psikosomatik di Seoul Korea Selatan. Saat itu ada Prof Jon Streltzer, psikiater dan presiden International College of Psychosomatic Medicine yang menceritakan pengalamannya dan penelitiannya tentang nyeri dan terapi psikologis yang dihubungkan dengan hal itu.

Penelitiannya semakin menguatkan bahwa persepsi sangat penting dalam derajat nyeri. Dalam ilmu kedokteran jiwa khususnya bidang psikosomatik medis, dikenal suatu diagnosis Gangguan Nyeri yang merupakan bagian dari Gangguan Somatoform.

Pasien biasanya mengeluh nyeri tanpa disertai adanya suatu kondisi medis yang mendasari dan tidaka danya kerusakan organ maupun serabut saraf yang berkaitan dengan nyerinya. Kondisi ini bisa sangat membuat pasien tidak nyaman karena pengobatan dengan obat-obat anti nyeri sering tidak bisa membantu banyak malahan membuat efek samping pada pasien.

Peran Psikoterapi

Pada banyak kepustakaan dan literatur, penanganan psikologis seringkali menjadi modalitas yang penting ketika modalitas terapi obat tidak banyak membantu. Pasien yang telah diberikan berbagai macam obat nyeri tetapi tidak ada perubahan juga merupakan kandidat untuk dilakukan terapi ini.

Psikoterapi dengan pendekatan Cognitive behavior therapy (CBT) pada banyak kepustakaan dan pengalaman klinis sangat membantu pasien-pasien
dengan gangguan nyeri non-organik.

Perubahan kognitif tentang rasa nyeri yang dialami pasien akan membawa perubahan yang bermakna pada persepsi nyeri pasien yang sering kali memang tidak sesuai dengan kondisi organiknya. Psikoterapi dengan teknik ini sangat membantu apalagi pada pasien dengan gangguan nyeri yang terkait dengan somatoform.

Intinya sebagai dokter di zaman modern sekarang ini, pendekatan biopsikososial yang dikonsepkan oleh George Engel (1977) adalah konsep yang perlu ditekankan pada penanganan nyeri. Bukan hanya dengan obat semata tetapi juga dengan pendekatan psikoterapi yang bermanfaat bagi kesembuhan pasien.

Selasa, 20 Desember 2011

Citra Hidup


Psoriasis dan Percaya Diri
Kulit merupakan bagian terluas dari tubuh dan merupakan bagian yang penting bagi setiap individu. Penampilan fisik, khususnya kulitlah yang pertama kali terlihat dan tampak dari luar (baik bagi individu itu sendiri maupun bagi orang lain), sehingga kondisinya lebih segera mempengaruhi pandangan orang lain (dan juga diri sendiri) dan responsnya pun biasanya lebih mendalam dibandingkan dengan penyakit pada bagian tubuh yang lain.

Psoriasis merupakan penyakit kulit yang kronis dan bersifat kambuhan. Bila seseorang individu mengalami psoriasis, maka akan terjadi perubahan-perubahan pada penampilan kulitnya, apalagi apabila sudah dialami dalam waktu yang cukup lama, biasanya perubahan-perubahan tesebut akan lebih dirasakan. Dalam menghadapi perubahan tersebut, setiap individu akan berespons dan mempunyai persepsi yang berbeda-beda tergantung pada kepribadian dan ketahanan diri terhadap stress, konsep diri dan citra diri, serta penghayatan terhadap mengalami penyakit tersebut; misalnya ada yang merasa marah karena merasa tidak beruntung, sehingga cenderung menyaalahkan hal-hal atau orang lain di sekitarnya atau menyesali nasibnya mengalami psoriasis; adapula yang merasa bersalah pada diri sendiri, merasa mendapat kutukan Tuhan sehingga merasa sedih dan merasa masa depannya suram. Di lain pihak banyak pula individu yang dapat menerima kenyataan bahwa psoriasis yang dialami sebetulnya tidak berbahaya yang walaupun mengubah penampilan, namun tetap harus dihadapi agar tetap hidup dengan lebih nyaman.

Lalu bagaimana agar bagi sebagian dari kita yang kebetulan mengalami psoriasis, dapat menerima kondisinya dan dapat beradaptasi dengan baik, sehingga tetap dapat beraktivitas dan berfungsi dalam kehidupan sehari-harinya dengan tetap nyaman ? Pada makalah ini akan dibahas mengenai konsep diri, citra diri serta penerimaan diri terhadap psoriasis agar seseorang dapat tetap percaya diri dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.


CITRA TUBUH DAN CITRA DIRI
Citra tubuh adalah persepsi seseorang mengenai tubuhnya, baik bentuk fisik maupun yang dibayangkannya. Misalnya seseorang merasa bahwa tubuhnya itu lengkap atau tidak, atau seseorang merasa bahwa tubuhnya itu tinggi atau pendek, gemuk atau kurus. Perasaan atau persepsi panca indera tersebut dapat merupakan yang sebenarnya atau khayalannya saja, misalnya seseorang merasa gemuk, padahal menurut pandangan orang lain ia tidak gemuk.

Citra tubuh akan mempengaruhi konsep diri seseorang. Konsep diri ini akan mempengaruhi penilaian terhadap diri sendiri. Bila seseorang menilai diri sendiri positif, maka seseorang akan memasuki dunia dengan harga diri yang positif dan penuh percaya diri. Harga diri positif, terciri oleh perasaan bahwa seseorang itu mempunyai kemampuan, dicintai orang lain, menghargai etika dan bertanggung jawab terhadap kehidupannya. Bila terjadi distorsi atau perubahan dalam citra tubuh seseorang, maka konsep dirinyapun dapat berubah.


DAMPAK PSIKOLOGIK DALAM PSORIASIS
Pada saat seseorang diberitahu bahwa ia mengalami psoriasis atau sebaliknya, individu tersebut belum mengetahui nama penyakit yang dialaminya tetapi sudah merasakan atau mengalaminya, apalagi sudah mengalami untuk beberapa lama atau bahkan sudah menahun, biasanya akan terjadi suatu proses psikologik dalam diri individu tersebut. Reaksi emosional yang terjadi biasanya melalui 6 tahapan, yaitu :

1. Penolakan (denial)
Yaitu menyangkal atau tidak percaya atau belum menerima bahwa ia mengalami penyakit tersebut

2. Marah
Marah kepada orang lain atau bahkan kepada Tuhan mengapa ia yang harus mengalami penyakit tersebut

3. Depresi
Merasa sedih, merasa bersalah, merasa bahwa ia memang patut mengalami kondisi sakitnya sekarang. Sering juga individu mengkait-kaitkan penyakit yang dialami dengan perbuatannya di masa lalu

4. Kecemasan
Merasa cemas dan tegang setelah mengetahui, menjadi berpikir dan mengantisipasi ke masa yang akan datang, bagaimana menghadapi hidup selanjutnya dengan kondisi yang sekarang dialami tersebut

5. Tawar menawar
Mulai dapat menerima, tetapi di saat yang sama juga masih sulit membayangkan harus mengalami kondisi yang berubah tersebut

6. Menerima
Sudah dapat menerima keadaan yang berubat tersebut, sehingga dapat menjalani hidup dengan lebih nyaman

Berat atau ringannya gejala psikiatrik pada tahapan ini serta lama berlangsungnya setiap tahapan berbeda pada setiap individu, tergantung pada kepribadian (termasuk kemampuan mengerahkan mekanisme mengatasi perubahan karena mengalami psoriasis), daya tahan terhadap stress yang terjadi, serta persepsi tentang perubahan citra tubuh yang terjadi setelah mengalami psoriasis.

Perubahan-perubahan psikologik yang terjadi bersamaan dengan tahapan tersebut di atas setelah seseorang mengalami perubahan-perubahan kulit karena psoriasis, dapat bersumber dari :

1. Diri sendiri

a. Perubahan focus pikiran dan perasaan; setelah mengalami perubahan pada kulitnya, secara sadar dan nirsadar individu menjadi lebih berpikir tentang hal itu karena ia senantiasa melihat kulitnya yang berubah, yang kemudian diikuti dnegan perilaku memandangi diri di depan cermin secara berulang-ulang. Respons psikologik yang terjadi saat itu tergantung pada tahap mana ia sudah melalui tahapan psikologik yang telah disebutkan diatas, bila masih dalam tahap penolakan, mungkin ia akan tidak percaya ketika memandangi dirinya di cermin dan selanjutnya akan menyangkalnya, bila sudah masuk ke tahap depresi, individu akan merasa kehilanagan dirinya yang dulu, sehingga ia dapat menjadi sedih, merasa bersalah bahkan putus asa.

b. Perubahan citra tubuh : setelah menyadari terdapatnya perubahan pada kulitnya yang menyebabkannya menjadi lebih “berpikir” tentang hal itu dan diikuti perilaku bercermin untuk memastikan perubahan tersebut pada tubuhnya, individu akan mengalami perubahan citra tubuh, ia akan merasa tubuhnya berubah, tidak sebagaimana dulu lagi. Respons inipun akan bervariasi pada setiap orang. Ada yang merasa bahwa ia tidak sempurna lagi, namun banyak pula yang walau melihat perubahan tersebut, namun dapat menerima kondisi tersebut.

c. Perubahan citra diri : Citra diri akan mempengaruhi konsep diri seseorang, yang akan mempengaruhi pula penilaian terhadap diri sendiri. Bila penilaian diri itu positif, maka ia akan memiliki harga diri yang positif pula. Bila terjadi distorsi atau perubahan citra tubuh ke arah negatif, akan menyebabkan terbentuknya citra diri yang negatif. Hal ini terjadi lebih karena persepsi dan fantasinya sendiri.

d. Perubahan rasa percaya diri; dengan citra diri yang berubah, individu akan mengalami perubahan harga diri, yang menyebabkan pula perubahan pada rasa percaya dirinya. Ia menjadi tidak percaya lagi pada kemampuan dan potensi dirinya, yang sebetulnya tidak berubah bila orang lain menilainya.

2. Stigmatisasi dari lingkungan
Stigma yang terbutuk karena ketidakmengertian masyarakat tentang psoriasis, ditambah adanya anggapan yang salah bahwa psoriasis itu menular, menyebabkan timbulnya pelbagai perubahan emosional pada individu, antara lain :

a. mengantisipasi penolakan (individu merasa bahwa karena psoriasisnya, orang lain akan menolaknya)
b. Merasa ada defek di dalam diri
c. Merasa malu dan bersalah
d. Hilangnya penilaian positif dan kepercayaan terhadap orang lain

Menurut penelitian, pada individu yang mengalami psoriasis dan mempunyai pekerjaan dan atau mereka yang mengalami psoriasisnya setelah dewasa akan lebih tahan terhadap stigmatisasi


MENGALAMI PSORIASI DENGA TETAP PERCAYA DIRI
Hingga kini penyebab yang pasti dari psoriasis belum diketahui, yang telah diketahui adalah adanya factor-faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kekambuhan oleh karena itu oengobatan yang dapat menyembuhkan pun belum ada. Fakta ini yang harus diketahui oleh seseorang yang mengalami psoriasis dan juga keluarganya

Belum adanya pengobatan yang pasti bukanlah hal yang menghambat kita untuk mengatasi psoriasis. Karena factor-faktor yang mencetuskan sudah diketahui, maka kita dapat berangkat dari factor tersebut. Diantara beberapa factor yang merupakan factor predisposisi, stress merupakan salah satu yang penting (disamping factor genetic dan factor biologik lainnya). Stres atau perasaan tertekan (dalam hal ini karena mengalami psoriasis) dapat mengakibatkan perubahan-perubahan psikologik seperti telah disebutkan sebelumnya. Stress terjadi karena dipicu oleh pengalaman-pengalaman emosional yang membuat individu menjadi tidak nyaman dan harus mengerahkan mekanisme pertahanan psikologiknya secara optimal. Di lain pihak, tidak semua individu yang mengalami psoriasis memerlukan bantuan atau dukungan pihak lain, karena sudah memiliki cara mengatasi ketidaknyamanan psikologik tersebut secara optimal. Walaupun cara tersebut dipengaruhi oleh tipe kepribadian (misalnya ada individu yang lebih sadar akan diri, ada yang lebih peka terhadap komentar dan penolakan), namun terdapat beberapa hal yang dapat diperhatikan dan dilakukan, antara lain :

Membekali diri dengan pengetahuan sebanyak mungkin tentang psoriasis dan selalu berusaha mendapatkan informasi terbaru, dengan demikian kita dapat menjaga diri dengan lebih baik dan dapat berdiskusi dengan teman dengan lebih baik pula

Melatih menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang psoriasis (baik itu berasal dari kelompok studi atau internet,dll) sehingga kita menjadi lebih nyaman berbicara tentang hal itu.

Memfokuskan pada hal-hal yang positif dalam hidup, keluarga, teman-teman, kegemaran, aktivitas yang menyenangkan, mengembangkan bakat yang ada, dll. Cari aktivitas dan kelompok baru bila perlu. Psoriasis memang sesuatu yang tidak mengenakan, tetapi itu hanya merupakan salah satu bagian dari hidup kita. Usahakan tidak membuat psoriasi menjadi pusat perhatian sehingga hidup kit terkonsentrasi disitu.

Melakukan hal-hal yang menambah harga diri dan percaya diri, misalnya menentukan target pribadi dalam apapun (pekerjaan, hidup, dll) memelihara persahabatan dan system pendukung yang lain, merumuskan kembali bahwa psoriasis yang dialami sebagai suatu kondisi medik, bukan sesuatu yang membuat malu.


SIMPULAN :
Psoriasis, penyakit kulit yang menahun dan bersifat kambuhan, belum diketahui penyebab yang pasti dan yang dapat diantisipasi adalah factor-faktor predisposisi. Salah satu factor yang penting adalah penerimaan diri terhadap penyakit tersebut, sehingga tidak terjadi perubahan citra tubuh, citra diri, harga diri dan percaya diri ke arah yang tidak mendukung. Proses penerimaan diri mengalami psoriasis melalui beberapa tahap, yang lama dan derajatnya bervariasi antara satu individu dengan yang lain. Selain itu, karena beberapa saran diatas dapat dipertimbangkan.

Senin, 19 Desember 2011

Falsafah Keperawatan


Definisi Falsafah Keperawatan
Falsafah keperawatan adalah dasar pemikiran yang harus dimiliki perawat sebagai kerangka dalam berfikir, pengambilan keputusan dan bertindak yang diberikan pada klien dalam rentang sehat sakit, yang memandang manusia sebagai mahluk yang holistic, yang harus dipenuhi kebutuhan biologi, psikologi, social, cultural dan spiritual melalui upaya asuhan keperawatan yang komprehensif, sistematis, logis, dengan memperhatikan aspek kemanusiaan bahwa setiap klien berhak mendapatkan perawatan tanpa membedakan suku, agama, status social dan ekonomi.Perbedaan falsafah keperawatan dengan falsafah dari disiplin ilmu lainnya
Falsafah keperawatan memandang manusia  secara holistic sehingga harus dipenuhi  kebutuhannya secara utuh/ holistic dan  komprehensif juga.  Hal ini tidak ditemukan pada falsafah profesi yang lain.  Esensi keperawatan  memandang bahwa pasien adalah mitra yang selalu aktif dalam pelayanan kesehatan.
Contohnya :
  • Ketika klien sakit fisik maka tidak menutup kemungkinan untuk sakit psikisnya juga, keluarga klien ikut merasakan sakit karena harus menunggui anggota keluarganya yang sakit, sehingga secara ekonomi, peran atau pungsi keluarga, ikut terganggu. Selain itu komunitas tempat keluarga tinggal juga dapat terpengaruhi jika keluarga tersebut memiliki peran yang besar di komunitasnya.
  • Pada pasien yang menderita penyakit stadium terminal yang menurut terapi medis sulit disembuhkan dan tergantung dari alat untuk menopang hidupnya, maka dalam asuhan keperawatan juga masih tetap dapat dijalankan melalui banyak cara, seperti terapi religious, tetap memanusiakan manusia, mengikutsertakan keluarga dalam mempersiapkan kematian dll.
Falsafah Keperawatan menurut Pakar keperawatan
Roy (Mc Quiston, 1995)
•          Memandang manusia sebagai makhluk biopsikososial yang merupakan dasar bagi kehidupan yang baik.
•          Keperawatan merupakan disiplin ilmu yang berorientasi kepada praktik keperawatan berdasarkan ilmu keperawatan yang ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada klien.
Jean Watson (Caring)
Caring adalah suatu ilmu pengetahuan yang mencakup suatu hal berperikemanusiaan, orientasi ilmu pengetahuan manusia ke proses kepedulian pada manusia, peristiwa, dan pengalaman. Ilmu pengetahuan caring meliputi seni dan umat manusia seperti halnya ilmu pengetahuan.
Perilaku caring meliputi mendengarkan penuh perhatian, penghiburan, kejujuran, kesabaran, tanggung jawab, menyediakan informasi sehingga pasien dapat membuat suatu keputusan
Betty Neuman
Newman menggunakan pendekatan manusia utuh dengan memasukkan konsep holistik, pendekatan sistem terbuka dan konsep stresor. Sistem klien terdiri dari lima variabel yang beriteraksi:
a.         fisiologi; struktur tubuh dan fungsi
b.        psikologi: proses mental dan hubungan
c.         sosiokultural: kombinasi fungsi sosiol dan kulkural
d.        perkembangan: proses perkembangan manusai
e.        spiritual: keyakinan spiritual
Florence Nightingale (Modern Nursing)
Melihat penyakit sebagai proses pergantian atau perbaikan reparative proses. Manipulasi dari lingkungan eskternal perbaikan dapat membantu proses perbaikan atau pergantian dan kesehatan klien.
Martha Rogers, 1970
Keperawatan adalah pengetahuan yang ditujukan untuk mengurangi kecemasan terhadap pemeliharaan dan peningkatan kesehatan , pencegahan penyakit, perawatan rehabilitasi penderita sakit serta penyandang cacat.
Konsep Inti Falsafah Keperawatan
Roy
Konsep inti dari teori Roy menekankan pada kemanusiaan dan kebenaran dalam melaksanakan praktik keperawatan
Jean Watson
Konsep inti menurut Jean Watson adalah pentingnya perilaku caring dalam merawat klien.
Betty Neuman
Konsep inti dari Neuman adalah memandang manusia secara holistic.
Florence Nightingale
Konsep inti dari teori Florence Nightingale tentang falsafah keperawatan adalah lingkungan berpengaruh terhadap proses pemulihan klien/ Membuat lingkungan yang kondutif bagi manusia untuk hidup sehat.
Martha Rogers, 1970
Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang utuh , yang memiliki sifat dan karakter berbeda-beda.
Penyebab para Perawat di Indonesia Belum Bersikap dan Berperilaku sesuai dengan Falsafah Keperawatan
  1. Perawat kurang memahami maksud  falsafah  keperawatan secara menyeluruh
  2. Perawat  memahami  falsafah keperawatan hanya pada tataran kognitif saja.
  3. Sikap profesionalisme perawat belum memadai yang ditandai oleh kurangnya kemampuan perawat dalam berinspirasi, menurunnya kemampuan menjalin hubungan rasa saling percaya dan konfidensi dengan klien, pengetahuan yang belum memadai, dan kapabilitas terhadap pekerjaan. Selain itu juga, perawat cenderung kurang terbuka dengan ide-ide baru, kurang berinteraksi dengan orang lain secara harmonis, berpenampilan buruk, dan bekerja semata-mata berorientasi pada uang, jabatan atau yang lainnya.
  4. Tingkat pengetahuan dan pendidikan para perawat yang tidak merata.
  5. Kondisi layanan kesehatan/keperawatan saat ini dengan falsafah keperawatan yang telah dikembangkan oleh para pakar
Roy
  • Perawat masih ada yang belum mampu meningkatkan respon adaptif pasien pada situasi sehat atau sakit. Perawat  belum dapat mengambil tindakan untuk memanipulasi stimuli fokal, kontextual maupun residual stimuli dengan melakukan analisa sehingga stimuli berada pada daerah adaptasi.
  • Pada situasi sehat, perawat  belum banyak berperan untuk membantu pasien agar tetap mampu mempertahankan kondisinya sehingga integritasnya akan tetap terjaga. Misalnya melalui tindakan promotif perawat dapat mengajarkan bagaimana meningkatkan respon adaptif.
  • Pada situasi sakit,   Perawat perlu mempersiapkan pasien untuk menghadapi realita. Dimana pasien harus mampu berespon secara adaptif terhadap perubahan yang terjadi didalam dirinya.    perawat  belum  berperan secara maksimal.
Jean Watson
Untuk merawat manusia harus memahami 4 cabang kebutuhan yang saling berhubungan yaitu: biophysical (makan & cairan, eliminasi, ventilasi), psikofisikal (aktifitas dan istirahat, seksualitas), psikososial (berprestasi, berorganisasi), Interpersonal (aktualisasi diri). Perawat/  tenaga kesehatan kadang kurang  memahami  factor-faktor biophysical, psikofisikal, psikososial, Interpersonal secara komprehensif bahkan kurang memperhatikannya, padahal kondisi sejahtera pada manusia karena adanya keharmonisan antara pikiran, badan, dan jiwa.
Florence Nightingale
Pandangannya  lebih menekankan pada lingkungan fisik daripada lingkungan social dan lingkungan  psikologik. Lingkungan ini meliputi 4 komponen  yang mempengaruhi kesehatan individu yaitu: udara bersih, air yang bersih, pemeliharaaan lingkungan  yang efisien, kebersihan, dan penerangan cahaya.  Perawat / tenaga kesehatan masih belum maksimal dalam memperhatikan masalah lingkungan baik di kilinik maupun di rumah sakit.  Di rumah sakit: pengaturan ruangan, kebersihan ruangan, pencahayaan, kondisi ruang mandi masih sering kurang diperhatikan. Di masyarakat, kondisi lingkungan rumah juga masih  juga merupakan masalah  yang belum maksimal teratasi yang sering  menimbulkan masalah kesehatan.
Betty Neuman
Dalam kenyataannya perawat masih belum maksimal dalam menerapkan, karena dalam konsep holistik, pendekatan sistem terbuka dan konsep stresor. Karena sering dalam memecahkan masalah kesehatan dimasyarakat masih didasarkan pada kasus yang ditemukan karena laporan masyarakat tetapi tidak  berdasarkan konsep yang holistic, kurang memperhatikan system yang terbuka dan konsep stressor.
Martha Rogers
Manusia  mempunyai sifat dan karakter yang berbeda-beda  dan selalu  berinteraksi  dengan lingkungan  yang saling dipengaruhi dan mempengaruhi. Perawat atau tenaga kesehatan masih perlu peningkatan pemahama masalah ini. Agar dapat saling memahami perannya masing-masing.

Kamis, 15 Desember 2011

Florence Nightingale Cinta Profesi Perawat

Perjalanan ke Jerman
Di tahun 1846 ia mengunjungi Kaiserswerth, Jerman, dan mengenal lebih jauh
tentang rumah sakit modern pionir yang dipelopori oleh Pendeta Theodor Fliedner dan
istrinya dan dikelola oleh biarawati Lutheran (Katolik).
Di sana Florence Nightingale terpesona akan komitmen dan kepedulian yang dipraktekkan
oleh para biarawati kepada pasien.
Ia jatuh cinta pada pekerjaan sosial keperawatan, serta pulang ke Inggris dengan membaw angan-angan tersebut.

Belajar merawat
Pada usia dewasa Florence yang lebih cantik dari kakaknya, dan sebagai seorang
putri tuan tanah yang kaya, mendapat banyak lamaran untuk menikah. Namun semua itu ia tolak, karena Florence merasa “terpanggil” untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan.
Pada tahun 1851, kala menginjak usia 31 tahun, ia dilamar oleh Richard Monckton
Milnes seorang penyair dan seorang ningrat (Baron of Houghton), lamaran inipun ia tolak
karena ditahun itu ia sudah membulatkan tekad untuk mengabdikan dirinya pada dunia
keperawatan.

Ditentang oleh keluarga
Keinginan ini ditentang keras oleh ibunya dan kakaknya. Hal ini dikarenakan pada
masa itu di Inggris, perawat adalah pekerjaan hina dan sebuah rumah sakit adalah tempat yang jorok. Banyak orang memanggil dokter untuk datang ke rumah dan dirawat di rumah.
Perawat pada masa itu hina karena:
Perawat disamakan dengan wanita tuna susila atau “buntut” (keluarga tentara yang
miskin) yang mengikuti kemana tentara pergi.
Profesi perawat banyak berhadapan langsung dengan tubuh dalam keadaan terbuka,
sehingga dianggap profesi ini bukan profesi sopan wanita baik-baik dan banyak
pasien memperlakukan wanita tidak berpendidikan yang berada di rumah sakit
dengan tidak senonoh
Perawat di Inggris pada masa itu lebih banyak laki-laki daripada perempuan karena
alasan-alasan tersebut di atas.
Perawat masa itu lebih sering berfungsi sebagai tukang masak.
Argumentasi Florence bahwa di Jerman perawatan bisa dilakukan dengan baik tanpa
merendahkan profesi perawat patah, karena saat itu di Jerman perawat juga biarawati
Katolik yang sudah disumpah untuk tidak menikah dan hal ini juga secara langsung
melindungi mereka dari perlakuan yang tidak hormat dari pasiennya.
Walaupun ayahnya setuju bila Florence membaktikan diri untuk kemanusiaan,
namun ia tidak setuju bila Florence menjadi perawat di rumah sakit. Ia tidak dapat
membayangkan anaknya bekerja di tempat yang menjijikkan. Ia menganjurkan agar
Florence pergi berjalan-jalan keluar negeri untuk menenangkan pikiran.
Tetapi Florence berkeras dan tetap pergi ke Kaiserswerth, Jerman untuk
mendapatkan pelatihan bersama biarawati disana. Selama empat bulan ia belajar di
Kaiserwerth, Jerman di bawah tekanan dari keluarganya yang takut akan implikasi sosial yang timbul dari seorang gadis yang menjadi perawat dan latar belakang rumah sakit yang Katolik sementara keluarga Florence adalah Kristen Protestan.
Selain di Jerman, Florence Nightingale juga pernah bekerja di rumah sakit untuk orang miskin di Perancis.